….. If Manners Maketh Man As Someone Said, He’s The Hero Of
The Day…..
(Sting – Englishman In New York, 1987)
…… Manners, Maketh, Man ……
(Galahad – Kingsman: The Secret Service, 2014)
Oke, oke, gua udah ngebahas ketololan – ketololan yang
terjadi pas uji coba MRT Jakarta di artikel sebelumnya, sebagai manusia, yang
katanya harus objektif dalam melihat dan menilai sesuatu, open minded,
bertoleransi, bermoral dan bla - bla – bla, lonte. Gua mau nambahin beberapa
hal aja, karena kepanjangan kalo di jadiin satu artikel sama yang sebelumnya,
toh juga ini bonus buat lu pas boker, biar ada bacaan.
Di twitter, gua gak cuma nemuin sesuatu yang menghujat
kelakuan – kelakuan random orang negara berkembang pas uji coba MRT kemaren.
Ada beberapa yang masih punya kebaikan hati, dan logika analisis yang baik
berusaha membela kelakuan – kelakuan tersebut.
![]() |
Credits to: twitter.com/tubirfess & original sender |
Disclaimer, gua gak pernah sebelumnya naik MRT di Jepang,
Underground Inggris, MRT Malaysia/Singapura, atau Subway di New York. Tapi gua
belajar dari apa yang gua serap melalui produk – produk budaya populer mereka
yang disebarkan dari berbagai media tentang bagaimana orang – orang dari negara
– negara tersebut berperilaku kepada fasilitas umum di negara mereka, cukup
bisa di jadikan referensi kok, kalo lu gak males nyari, bagaimana mereka
menjalani kehidupannya.
Oke, ngomong perilaku manusia, kita gak bisa bilang bahwa
perilaku manusia muncul dari suatu faktor tanpa mengindahkan faktor lain, baik
eksternal maupun internal. Untuk perkara MRT, ada beberapa tanggapan yang gua
anggap cukup menarik buat ngeliat fenomena dan kegilaan yang terjadi kemaren
1. Kelas Sosial
Gua percaya bahwa kelas sosial seseorang bisa menjadi salah
satu faktor yang memengaruhi bagaimana seseorang bersikap dan berperilaku.
Kenapa demikian? Karena pada dasarnya manusia adalah mahluk yang akan berusaha
beradaptasi untuk bisa berinteraksi dengan lebih baik kepada sesamanya. Kelas
sosial disini menurut gua menjadi faktor karena, biasanya seseorang akan
berusaha mengikuti apa yang menjadi sebuah ciri dari kelas sosial tertentu
untuk mengubah anggapan dan pandangan masyarakat, bahwa dia merupakan bagian
dari kelas sosial tersebut, anggap aja misalnya, anak – anak hype beast, mereka
membeli pakaian branded berjuta – juta, supaya dianggap sebagai orang – orang
yang berkelas.
Hal ini applicable dengan apa yang terjadi di MRT kemaren,
disaat ada sesuatu yang baru dan asing, otomatis manusia akan mencoba hal
tersebut karena dorongan rasa penasaran mereka, mereka melakukan hal – hal
seperti itu karena menurut mereka hal – hal seperti itu lumrah dilakukan, hal
ini terjadi karena mereka terbiasa melihat perilaku dan tidak mengeri bahwa apa
yang mereka lakukan salah, karena pada dasarnya masyarakat dari kelas sosial
tersebut mengganggap itu adalah hal yang biasa, kita berbicara dari konteks
piknik ya.
“saya dan keluarga saya lapar, maka saya akan menepi, duduk
dan makan bersama keluarga saya, sembari berekreasi menikmati keramaian”
Itu salah satu kemungkinannya, yang menjadi kata kunci
disini adalah keramaian, karena menurut mereka sesuatu yang ramai adalah sebuah
hiburan, kenapa orang beramai – ramai mencoba MRT? Karena menurut mereka MRT adalah
sebuah hiburan, bukan moda transportasi. Kita tidak bisa menyalahkan anggapan
ini, karena bagi kelas sosial ini jika sedang menikmati hiburan, maka menggelar
piknik adalah hal yang wajar, toh di kebun binatang Ragunan orang – orang juga
piknik, duduk – duduk, dan makan ditambah kebun binatang adalah tempat yang
ramai.
Mereka melakukan hal tersebut karena mereka tidak tahu dan
tidak memiliki contoh untuk berperilaku di tempat yang baru tersebut, jadi
mereka melakukan apa yang mereka anggap wajar. Beruntunglah kalian yang pernah
keluar negeri dan tahu bagaimana bersikap dan menyikapi fasilitas public, atau
kalian yang belum pernah tetapi setidaknya paham melalui referensi – referensi
lain.
2. Pendidikan
Gua sebenernya gak ngerti juga ya, kenapa pendidikan masuk
jadi faktor, tapi kalo yang gua paham, pendidikan biasanya akan mengajarkan
tentang moral dan cara berperilaku yang baik. Konteks pendidikan disini kalo
kita ngomonginnya jenjang, tentu akan terasa, mereka yang kurang beruntung tidak
selesai mengenyam pendidikan 12 tahun, yang selesai 12, atau mereka yang bisa
sampai lulus universitas akan memiliki perilaku yang berbeda.
Ini cuma asumsi gua dari apa yang pernah gua dapet selama
gua sekolah, di SD gua diajarin dasar – dasar bagaimana berinteraksi dengan
masyarakat, kaya misalnya harus sopan sama orang yang lebih tua, menjaga
kebersihan, dan berbuat baik pada orang lain, semakin tinggi tingkat
pendidikan, pertimbangan lu dalam melakukan tindakan akan makin kompleks,
karena lu punya referensi yang bisa dijadiin sebagai gambaran untuk
mengantisipasi reaksi yang terjadi jika lu melakukan sesuatu berdasarkan logika
analisis yang lu punya.
Mereka yang kurang beruntung dalam mengenyam pendidikan,
mungkin hanya akan mempertimbangan hal – hal dasar dan esensial saja dalam
berperilaku, tidak akan berpikir, bagaimana lingkungannya akan bereaksi, atau
tanggapan orang lain yang tidak mereka kenal menanggapi perbuatan mereka.
Kasarnya, pikiran mereka gak panjang, sehingga untuk orang yang terbiasa
berpikir dan mempertimbangkan perilaku mereka, kelakuan orang – orang yang lugu
ini, bisa dijadikan suatu bahan perbincangan karena aneh bagi mereka, sama
seperti mereka melihat orang yang banyak mempertimbangkan kelakuannya, mereka
akan melihat kalian, sebagai orang – orang ribet, dengan anggpan.
“udah di bikini gratis, masih aja ribet lu pada, tinggal
pake ini”
Pendidikan selain institusi seperti sekolah, misalnya orang
tua atau teman, juga berperan dalam membentuk perilaku seseorang menurut gua,
kalo ini kasusnya kaya yang anak kecil di suruh pipis gak di toilet sama
bapaknya, hingga anak tersebut sadar dan mengenal malu, menurut gua anak
tersebut bisa aja mengulangi hal tersebut jika sedang tidak di damping oleh
orang tuanya. Atau karena mereka melihat teman mereka maka mereka akan ikut –
ikutan karena merasa hal tersebut wajar dan pernah mereka lihat. Hal ini
terjadi karena anak- anak belajar utamanya melalui proses imitasi, dimana dia
akan meniru apa yang ada di sekelilingnya, jika sekelilingnya mempunyai moral,
tata kerama, dan pengetahuan yang baik, no problem, jika sebaliknya, ya
nantinya dia akan menjadi seperti itu juga.
3. Disiplin
Kalo faktor ini menurut gua tergantung dari orangnya masing
– masing, semakin disiplin seseorang, maka akan semakin sadar dia dengan peraturan
atau hal – hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan pada sebuah keadaan
tertentu.
Untuk masalah disiplin semuanya bisa kena kali ya kalo bahas
faktor ini, tapi yang mau gua angkat disini adalah kasus gelantungan dan
berdiri di kursi. Yes, disiplin dalam menahan diri.
Seru emang gelantungan di pegangan tangan itu, tapi menurut
gua kalo lu adalah orang yang disiplin, lu tau kegunaan spesifik sebuah benda,
lu gak akan menggunakan benda tersebut untuk melakukan hal – hal lain yang
tidak ada hubungannya dengan benda tersebut. Kecuali lu emang ada di posisi
terdesak, diharuskan kreatif, dan tidak ada alternative lain, mungkin lu bisa
menggunakan benda atau barang tidak sesuai dengan fungsinya.
Jika lu bisa mendisiplinkan diri lu sendiri tanpa perlu
adanya social judgment, divine judgment, hukum formal, atau mendisiplinkan
hasrat lu untuk membuat foto unik guna mendapat jempol, hati, atau retweet yang
banyak di media sosial, gua yakin gak ada tuh orang – orang yang gelantungan
atau naik – naik ke kursi buat foto.
Mendisiplinkan diri emang susah, susah banget, sama kaya lu
mau ngerjain skripsi, tapi ada temen lu yang ngajak main, kalo lu punya
disiplin dan sadar bahwa lebih penting skripsi, maka lu akan menolak ajakan
main, kalo lu lebih ngikutin nafsu lu dan gatau prioritas, maka lu akan milih
main (this is me, literally).
4. Kesadaran Diri dan Tata Krama
Faktor ini adalah faktor terakhir yang gua bahas, faktor
paling random. Tingkat kesadaran diri orang untuk menjaga sesuatu akan berbeda
satu sama lain, tergantung seberapa butuh dia dengan hal yang akan dijaganya.
Begitu juga dengan tata krama, tiap budaya memiliki tata krama dan cara
menjalankan yang berbeda – beda, tetapi mari kita sepakat untuk tidak sepakat,
sebuah fasilitas umum adalah sesuatu yang dibutuhkan dan digunakan oleh banyak
orang, dimana jika dijaga dan diperlakukan dengan baik akan menimbulkan
kenyamanan, yang mana walaupun lu adalah orang – orang yang jarang memakai
fasilitas umum, apakah menjadi sebuah kesalahan dan beban hidup buat lu untuk
menjaganya?
Untuk sampai pada tingkat kesadaran diri dan tata krama yang
bisa membuat orang lain senang, permasalahannya menurut gua yang susah dilawan
adalah, ego. Menghilangkan ego dan pemikiran, gua udah bayar, jadi suka – suka
gua mau gua apain, ini hak gua. IYA BANGSAT, GUA TAU ITU HAK LU, tapi apakah lu
memikirkan sesuatu yang namanya KEWAJIBAN? Oke, hak lu naik transportasi umum,
lu bayar, tapi kan ada kewajiban lu buat ngejaga agar semua orang yang make
transportasi umum itu jadi tetap nyaman untuk jangka waktu yang lama. Gua gamau
bahas masalah ngasih kursi ke orang lain atau semacamnya, itu pembahasannya
panjang lagi. Ya seenggaknya kan lu udah bayar nih, masa lu bayar, cuma buat
ngerusak, konsep lu bayar adalah untuk ngerawat transportasi itu agar
kedepannya tetap nyaman, BUKANNYA NGEBUAT LU BISA SEENAK JIDAT KAYA MONYET
GELANTUNGAN ATAU BERDIRI DI KURSI ATAU NYURUH ANAK LU KENCING DI POJOKAN.
5. V, W, X, Y, Z
Ini adalah variable lain, lu cari sendiri dah, akan terlalu
panjang dan banyak pembahasannya kalo gua nyertain hal – hal lain, semacam
konsep akhlaq dan lain – lain. Coba analisis sendiri, tarik kesimpulan sendiri.
Gua sih adalah orang yang percaya kalo hanya diri lu sendiri
yang bisa mengubah sesuatu, walaupun kecil, jadi ya pertama – tama, refleksikan
diri lu, apakah saya sudah berperilaku selayaknya dalam menggunakan fasilitas
public?
Jika lu sudah bisa, gausah ngingetin orang lain, lu tunjukin
aja, kalo emang kebangetan baru lu ingetin, jangan ngabisin tenaga, toh ada
petugas yang bisa di mintain tolong di stasiun atau kereta.
*ARTIKEL INI ADALAH SEBUAH OPINI PRIBADI, DIMANA PENULIS
TIDAK MENGGUNAKAN SUMBER ILMIAH DAN KUTIPAN ILMIAH, HANYA PEMAHAMAN DARI BUKU –
BUKU DAN PELAJARAN YANG PERNAH DI DAPATKAN / DIPELAJARI, KEMUDIAN DITERJEMAHKAN
DENGAN BAHASA SENDIRI, TOLONG, JANGAN GUNAKAN ARTIKEL INI SEBAGAI DASAR
PEMIKIRAN*