Langsung ke konten utama

Postingan Tersirat


Apasih susahnya sepakat?

Yang satu bilang “A”, yang lainnya bilang “B’.

Konsistensi juga sama, serupa orang mabuk yang lupa semalem dia abis ngapain. Nanya ke temen dibilang “anteng kok gak apa-apa”, nanya kenalan yang ikut “sebenernya kacaw, tapi masih batas wajar”, nanya dia yang peduli “wah parah sih, mungkin perlu mitigasi”, tapi nuraninya denial.

Mereka yang kenal juga sama, tololnya sampe ke akar. Mau acara cepat selesai, tapi gamau ikutin rundown acara, begitu ditegasin dibilang gak asik, memaksakan kehendak, mengekang, berucap “kami juga butuh berkreasi untuk mencari nasi!”

Yang mendapat berita buruk juga sama saja, otaknya tidak dipakai. Diajak berjarak untuk mengevaluasi, malah memaksakan berdekatan karena kehendak Tuhan. Tuhan juga maklum bahwa umatNya juga harus berusaha untuk selamat, bukan hanya mengandalkan Dia saja.

Dijemput untuk lebih baik malah mengamuk? Apa motivasinya? Merasa dirinya tidak kenapa-kenapa? Lebih baik dan lebih tahu dirinya sendiri daripada data dan orang-orang yang ahli dan meluangkan waktunya untuk belajar? Mungkin otak mereka bebal karena beban hidup dan rasa takut.

Bukannya melindungi sesamanya dan menjaga, malah ikut-ikutan orang yang tidak jelas pendapatnya didapatkan darimana. Dia dikenal, tapi sayang hanya dikenal karena kebodohannya, lantang, dan diperlihatkan pula di depan khalayak banyak.

Media juga tidak membantu, menjadi populer memang perlu, apalagi dijaman sekarang, uang datang dari kursor pengguna, bukan pelanggan loper di pagi buta. Maunya hanya memberitakan hal-hal baik, padahal faktanya berlawanan. Masyarakat butuh  edukasi, bukan disuapi remahan gemblong manis di sore hari.

Jika mereka yang ada di depan mulai desersi, apa lagi yang akan kamu cari? Alasan? Akhirat? Maklumat? Bukan, kamu cuma butuh tenang, tunggu, dan dukung supaya yang lain bisa berobat. Kalau nanti obatnya sudah selesai, mau kamu jungkir balik dan melompat, kami tentu bodo amat.

Ketika tidak tegas dan tidak siap, apalagi tidak berani mengambil langkah cepat, akhirnya hanya morat-marit kalut ketakutan. Toh tetangga yang diatur dengan cara lebih keras, bisa lebih cepat bebas dari cengkraman maut dengan cepat.

Ketika ego dan keroncongan mulai mengalahkan rasa sehat karena penanganan lambat. Siapa yang mau bertanggung jawab? Gak ada, yang duduk nyaman dan aman juga cuma bisa berwacana, sembari sesekali menyeka keringat, takut-takut dirinya kolaps.

Romantisasi saja semua, biar fakta tengkurap, dan yang lainnya bisa puas menguap, toh aku juga hanya bisa cuap-cuap.