Apasih susahnya sepakat?
Yang satu bilang “A”, yang lainnya bilang “B’.
Konsistensi juga sama, serupa orang mabuk yang lupa semalem
dia abis ngapain. Nanya ke temen dibilang “anteng kok gak apa-apa”, nanya
kenalan yang ikut “sebenernya kacaw, tapi masih batas wajar”, nanya dia yang
peduli “wah parah sih, mungkin perlu mitigasi”, tapi nuraninya denial.
Mereka yang kenal juga sama, tololnya sampe ke akar. Mau
acara cepat selesai, tapi gamau ikutin rundown acara, begitu ditegasin dibilang
gak asik, memaksakan kehendak, mengekang, berucap “kami juga butuh berkreasi
untuk mencari nasi!”
Yang mendapat berita buruk juga sama saja, otaknya tidak
dipakai. Diajak berjarak untuk mengevaluasi, malah memaksakan berdekatan karena
kehendak Tuhan. Tuhan juga maklum bahwa umatNya juga harus berusaha untuk
selamat, bukan hanya mengandalkan Dia saja.
Dijemput untuk lebih baik malah mengamuk? Apa motivasinya? Merasa
dirinya tidak kenapa-kenapa? Lebih baik dan lebih tahu dirinya sendiri daripada
data dan orang-orang yang ahli dan meluangkan waktunya untuk belajar? Mungkin
otak mereka bebal karena beban hidup dan rasa takut.
Bukannya melindungi sesamanya dan menjaga, malah ikut-ikutan
orang yang tidak jelas pendapatnya didapatkan darimana. Dia dikenal, tapi
sayang hanya dikenal karena kebodohannya, lantang, dan diperlihatkan pula di
depan khalayak banyak.
Media juga tidak membantu, menjadi populer memang perlu,
apalagi dijaman sekarang, uang datang dari kursor pengguna, bukan pelanggan
loper di pagi buta. Maunya hanya memberitakan hal-hal baik, padahal faktanya
berlawanan. Masyarakat butuh edukasi,
bukan disuapi remahan gemblong manis di sore hari.
Jika mereka yang ada di depan mulai desersi, apa lagi yang
akan kamu cari? Alasan? Akhirat? Maklumat? Bukan, kamu cuma butuh tenang,
tunggu, dan dukung supaya yang lain bisa berobat. Kalau nanti obatnya sudah
selesai, mau kamu jungkir balik dan melompat, kami tentu bodo amat.
Ketika tidak tegas dan tidak siap, apalagi tidak berani
mengambil langkah cepat, akhirnya hanya morat-marit kalut ketakutan. Toh tetangga
yang diatur dengan cara lebih keras, bisa lebih cepat bebas dari cengkraman
maut dengan cepat.
Ketika ego dan keroncongan mulai mengalahkan rasa sehat
karena penanganan lambat. Siapa yang mau bertanggung jawab? Gak ada, yang duduk
nyaman dan aman juga cuma bisa berwacana, sembari sesekali menyeka keringat,
takut-takut dirinya kolaps.
Romantisasi saja semua, biar fakta tengkurap, dan yang
lainnya bisa puas menguap, toh aku juga hanya bisa cuap-cuap.