Beberapa waktu lalu gua baru aja
sempet nonton sebuah film karya Makoto Shinkai. Yup, director/animator yang
namanya melejit lewat beberapa karyanya terdahulu (terutama Kimi No Na Wa/Your
Name) ini tahun lalu baru saja mengeluarkan sebuah film, tetapi karena ada aral
melintang bernama skripsi, jadi gua gak bisa nonton pas ditayangin di
Indonesia.
![]() |
Weathering With You Opening Scene |
Mungkin review ini bisa dibilang
basi karena keluar hampir setahun setelah filmnya rilis secara global, tapi gua
sebagai orang yang menikmati karya Shinkai di beberapa film sebelumnya merasa
ada yang mengganjal dan perlu gua keluarkan dari dalam otak gua setelah
menonton karya terbarunya.
Tenki No Ko (Weathering with You,
untuk judul terjemahannya) adalah film ke 12 yang didirect oleh Shinkai, secara
garis besar temanya masih sama dengan film-film sebelumnya, berhubungan dengan
percintaan dan romansa 2 insan. Shinkai seakan belum bisa move on dari
formulasi yang menjadikan Kimi No Na Wa sebuah film yang diapresiasi oleh
banyak orang, dia masih mengangkat percintaan dua insan muda yang penuh
perjuangan, tetapi secara tidak langsung menggunakan mitos/folklore Jepang
sebagai pondasi dasarnya.
Latar keseluruhan film ini adalah
kota Tokyo, tidak seperti Kimi No Na Wa, Tokyo di film ini adalah Tokyo yang
pragmatis, cepat, dan gelap, belum lagi ditambah hujan yang tidak berkesudahan
menjadikan Tokyo terasa sangat bland, mungkin seperti London yang digambarkan
selalu murung karena hujan di tiap musim panas.
Tokyo yang sendu ini kalo menurut
gua bukan menjadi salah satu kekuatan grafik dari film ini, mungkin karena
hujan detail-detail grafik yang eye pleasing malah muncul ketika set dimainkan
di dalam sebuah ruangan/rumah/tempat yang cakupannya kecil, gak ada wide angle shoot
seindah Tokyo ala Kimi No Na Wa. Salah satu contohnya adalah ruangan/kantor/bekas
bar dimana si karakter utama tinggal dan bekerja.
Tapi scene paling cerah dan
membahagiakan dari film yang entah kenapa berasa depresi ini ada di saat Hodaka
main ke apartemen Hina. Ini adalah satu dari segelintir scene cerah dan uplifting
yang ada di film ini. Detail hangat yang sangat homey ini adalah salah satu
scene penuh detail yang syukurnya warnanya gak “abu-abu” depresi, ditambah
dengan detail-detail kecil apartemen Jepang yang sempit dan banyak barang,
scene ini punya satu setting yang menjadi kesukaan gua.
![]() |
Bandingkan Warna dan Detailnya dengan Scene Lain di Film Ini Coba! |
Tokyo yang cerah hanya muncul sebagai
bagian kecil dari fragmen cerita ini, tetapi ketika ditampilkan dalam sebuah
adegan panjang mendekati akhir cerita, Shinkai seakan-akan meminta maaf karena
sudah menampilkan Tokyo yang suram. Walaupun Tokyo dipenuhi dengan genangan,
banjir, dan mobil-mobil yang hanyut, hal tersebut digambarkan dengan indah dan
natural, seperti kota yang sedang berusaha bangkit, sebelum akhirnya kembali
ditutup dengan Tokyo yang semakin tergenang dan suram.
Cerita kali ini berkutat kepada
Hodaka dan Hina. Hodaka adalah orang yang merasa tempat tinggalnya membosankan
dan memutuskan untuk pergi ke Tokyo (mirip sama siapa ya?), walaupun harus
luntang-lantung menggembel, setelah beberapa lama takdir (lagi-lgi) memeprtemukan
dirinya dengan Hina, seorang pramusaji makanan cepat saji dan seseorang yang
pernah menyelamatkan hidup Hodaka (dan Hodaka kembali diselamatkan lagi
olehnya).
Sedangkan Hina adalah pramusaji
yang memiliki kekuatan untuk menghentikan hujan, kekuatan ini didapatkan
setelah sebuah kejadian menimpa dirinya. Hina dapat menghentikan hujan hanya
dengan berdoa kepada lagit. Tetapi hidup Hina sama seperti Hodaka, kurang
beruntung dan terlalu nekat sehingga menggiring dirinya ke dalam beberapa
permasalahan yang untungnya dapat dilalui setelah dia secara tidak sengaja
bertemu kembali dengan Hodaka.
Hodaka dan Hina yang sama-sama
sadar akan potensi kemampuan Hina dapat digunakan untuk menghentikan hujan dan
menghasilkan pundi-pundi akhirnya membuka bisnis pawang hujan online untuk
memenuhi kebutuhan hidup Hina sehari-hari (dan sebagai alasan untuk Hodaka bisa
bersama-sama Hina selalu, uwu.).
Jika cerita Kimi No Na Wa
berkutat pada konsep folklore Jepang tentang dewa yang mengasai waktu dan
takdir, maka Tenki No Ko mengambil pendekatan pada cerita tentang “Perempuan
Cerah” (Hare-Onna) yang dapat menghentikan hujan baik secara sebentar atau
permanen. Dalam film ini Perempuan cerah direpresentasikan oleh Hina, tetapi
dalam cerita aslinya “Perempuan Cerah” tidak pernah sendirian, dia akan selalu
diikuti oleh “Laki-Laki Hujan” (Ame-Otoko) yang dalam film ini
derepresentasikan oleh Hodaka.
![]() |
Sesaat Sebelum Hina jadi Pawang Hujan |
Alur cerita di film ini
sebenernya rapih dan gak membingungkan kaya Kimi No Na Wa, sayangnya perjalanan
Hodaka dalam mengejar Hina gak semanis Taki dan Mitsuha. Kalau menurut gua walaupun masih memainkan folklore
sebagai pondasinya, cerita Tenko No Ko masih terasa unsur-unsur realismenya,
sehingga ketika jalan ceritanya berkembang konflik yang ditimbulkan tidak
seheboh Kimi No Na Wa.
Kimi No Na Wa berhasil membangun
romantisme dan cerita yang “uwu dan unyu” karena dalam film ini mereka berani
mengatakan “fuck reality” sehingga pada akhirnya karena semuanya adalah hal
yang tidak akan masuk di akal, maka ceritanya terbangun dengan natural.
Sedangkan kejadian-kejadian yang
ada di Tenki No Ko adalah kejadian yang masih semua orang dapat lakukan di
dunia nyata. Hal ini yang menjadikan ceritanya kurang berkesan ketika hal-hal
yang realistis tersebut dibumbui dengan folklore, hematnya, kalau udah
mengawang-awang mendingan halu sekalian, daripada setengah-setengah.
Gua berani bilang ceritanya
setenga-setengah karena kalau melihat kebelakang Shinkai bisa kok bikin film
realistis yang relate sama kehidupan orang tanpa adanya bumbu-bumbu magis. Mari
kita ambil contoh 5 Centimeters per Second (selanjutnya 5cm). 5cm adalah sebuah
film yang relistis, gampang relate dengan banyak orang, tanpa ada taburan bumbu
magic/folklorenya.
Film ini cuma nyeritain kehidupan
3 orang karakter utama (1 cowo, 2 cewek) yang dibagi menjadi beberapa chapter,
tetep kisah cinta sejoli, tetep fokus sama grafis ciamik, hanya saja ceritanya
gak bertele-tele, toh pada akhirnya ini hanya jadi kisah cinta segitiga dimana akhirnya
si karakter laki-laki utamanya menyendiri di dunianya yang hancur
berkeping-keping. Tolong lah Bapak Shinkai, saya rindu film-film beaty in
simplicity seperti ini lagi.
Oh iya, terkahir mungkin lu
ngedengernya akan aneh, tapi menurut gua film ini kurang adegan “unyu unch uwu”
romantis yang memberikan kesan mendalam. (Spoiler Ahead) kalo di Kimi No Na Wa
lu bisa liat Taki dan Mitsuha yang ketemu di kawah pas “kataware doki” dan
saling bertanya naman mereka tapi gak sempet, atau 5cm adegan terakhir di rel
kereta pas Takaki dan Akari papasan tapi udah gak ada yang bisa dilakukan untuk
memperbaiki yang udah terjadi, jadinya mereka hanya lewat dan mengikhlaskan, walau si Takaki ada harapan
dikit, dengan nunggu keretanya selesai lewat untuk ngeliat Akari lagi.
![]() |
Scene yang Bisa Membuat Laki-Laki jadi Ugal-Ugalan kalau Mereka Relate sama Cerita 5cm per Second |
Buat gua Tenki No Ko gak bisa
meninggalkan kesan yang mendalam seperti film-film Shinkai sebelumnya, gua
malah sedikit kesal dan kecewa karena ada pemikiran bahwa ‘seharusnya film ini
bisa lebih keren dari Kimi No Na Wa, tapi eksekusinya payah’ atau memang
ekspektasi gua yang berlebih terhadap film ini, apalagi gua harus nunggu agak
lama karena gak bisa nonton pas premier dan dari cerita temen yang udah nonton
mereka mengatakan bahwa film ini bagus.
Ya bagus sih, cuma banyak aja
yang kurang kalo buat gua.
Akhirnya hanya satu hal yang bisa
membuat gua memaklumi film ini, yaitu soundtrack. Lagi-lagi soundtrack film ini
digarap sama Radwimps yang berhasil menggarap ngasih nilai lebih buat soundtrack
Tenki No Ko, mereka bisa mengulang manisnya kesuksesan mereka ketika waktu menggarap
sountrack Kimi No Na Wa. Hal ini buat gua menjadi semacam obat yang nambel
ekspektasi gua atas film yang bland ini.