Langsung ke konten utama

Ngaceng dalam Damai, Part 2 : Lu Yakin Sama Pilihan Orang?




Tulisan ini adalah sebuah opini yang gua rangkum setelah gua membaca beberapa referensi yang gua gunakan dalam menulis skripsi gua yang juga bertema kekerasan seksual, selain itu argument gua di sini gua bangun juga dari partisipan penelitian gua tentang pandangan dan pemaknaan mereka tentang kekerasan seksual, tulisan ini akan subjektif dari pandangan gua dan gua harap lu bisa memakluminya dan tidak menelan mentah-mentah apa yang gua tulis di sini, biasakan untuk membaca dan memeriksa apa yang yang sudah lu baca dari sumber lain yang lebih kredible.


Ahhhhh, privilege, sebuah hal yang nikmat memang, tapi juga bisa ngerepotin bahkan bisa menyakiti beberapa orang, apalagi kalau dia gak punya privilege yang setara. Pun kalau kita mau mempermasalahkan privilege kayanya gak bakal habis, karena gua rasa setiap orang punya privilege masing-masing di bidang tertentu sesuai dengan peran sosial di lingkungan/masyarakat tempat dia hidup.


Tapi gua males nyebutnya privilege kayanya terlalu “wah” gitu, gua bakal menyebut hal ini dengan hak khusus, kenapa hak khusus? Karena emang gak setiap orang punya.


Hak khusus ini kalau menurut bentuknya bisa didapatkan dengan 2 cara, yaitu hak khusus yang lu dapatkan karena melakukan/memiliki sesuatu dan hak khusus yang diturunkan dari keluarga lu. Hak khusus ini bisa memberikan lu kemudahan dimana aja selama hak tersebut diakui di tempat tersebut.


Nih contohnya, kalau misalnya yang diturunin, taruh lah misalnya bapak lu atau keluarga lu adalah orang yang dipandang di lingkungan rumah lu sebagai pengurus masjid dan keluarga kiyayi. Otomatis hak khusus yang lu dapatkan adalah lu dianggap sebagai anak saleh yang rajin, belom lagi lu pasti bisa ngaji dan omongan lu soal agama akan lebih didengarkan karena latar belakang keluarga lu, gak hanya sampai situ aja, biasanya dalam hal-hal yang berbau keagamaan, misalnya pegajian lu bakal bisa duduk di depan, atau malah diminta untuk jadi pembaca doa atau menjadi narasumber karena hak khusus yang lu punya, meskipun orang atau bahkan lu sendiri gak tau kapasitaslu kaya gimana.


Kalau untuk bentuk yang satunya, hak khusus yang lu dapet karena melakukan sesuatu atau memiliki sesuatu biasanya ada hal-hal yang harus lu korbankan dulu buat mendapatkan hak khusus tersebut, contohnya gini, ada sebuah pasar, di pasar tersebut ada premannya, lu nantang tuh preman, lu gebukin sampe ampun-ampun walaupun lu juga bonyok, maka setelah itu lu punya hak khusus di pasar tersebut, misalnya seperti parkir gratis, bisa makan gak bayar, atau dapet jatah uang keamanan juga karena lu telah mengalahkan orang paling jago di pasar tersebut.


Biasanya dengan seseorang memiliki sebuah hak khusus akan datang sebuah efek lain, yaitu naiknya status sosial orang tersebut di masyarakat, karena terkadanga hak khusus ini akan dijadikan sebagai sebuah indikator bahwa orang tersebut memiliki sesuatu yang “lebih” dan tidak dimiliki orang kebanyakan.


Banyak orang yang memanfaatkan seseorang yang memiliki sebuah hak khusus untuk mencapai sebuah tujuan (biasanya tujuan pribadi) dan biasanya tujuan tersebut lekat dengan upaya untuk menaikkan status sosialnya di masyarakat.


Emang ya, manusia bisa segila itu buat mencapai sebuah hak khusus dan sebuah status sosial biar dipandang di masyarakat. Mereka rela ngelakuin apa aja bahkan sampe mengorbankan orang lain dan orang-orang di sekitarnya. Mereka akan masa bodo dengan efek yang terjadi pada orang-orang atau sesuatu yang mereka korbankan (baik orang yang melihat itu tahu atau tidak tentang motif mereka mengorbankan hal tersebut).


Tapi karena seri postingan ini udah punya tema khusus dari part pertama dan part 1.5 yang bisa kamu baca di sini dan di sini . Maka gua akan nyambungin hak khusus dan status sosial ini dengan teman postingan sebelumnya. Coba baca dulu biar lu ngerti gua ngomongin apa di series ini.


Selain dengan hak khusus, status sosial biasanya juga berkaitan sama kekayaan. Di indonesia sendiri yang gua rasain dan gua lihat sebagai seorang middle to lower class citizen yang punya temen dari yang lower class (yang bener-bener harus berjuang buat menuhin kebutuhan hidup sehari-hari dia dan keluarganya) sampe temen yang ada di luar angkasa (tinggal tunjuk, tanpa harus berusaha dan berkorban, enak hidupnya), bahwa harta dan uang memang bisa membuat kelas sosial lu naik dan membuat orang secara tidak sadar menaruh lu di kelas sosial tertentu.


Nah, sama seperti udah gua jelasin di atas, orang juga bisa mengorbankan banyak hal untuk mencapai hal ini. tapi menurut gua ada sebuah cara yang paling gampang, manjur, dan sudah terbukti dari zaman sejak manusia mulai mengenal sistem hirarki, cara tersebut adalah dengan :


Mengatur pernikahan / mengatur perjodohan.


FYI dulu nih sebelum lanjut, dari buku rujukan yang gua baca yaitu “15 Bentuk Kekerasan Seksual: Sebuah Pengenalan” yang dikeluarin sama KOMNAS PEREMPUAN pada tahun 2015 menyebutkan bahwa salah satu bentuk tindak kekerasan seksual yang dibahas di dalam buku tersebut salah satunya adalah “Pemaksaan Perkawinan, termasuk Cerai Gantung” dan gua pribadi, sangat tidak suka dengan pemaksaan perkawinan (dan menurut gua perjodohan/dijodohin adalah sebuah bentuk pemaksaan perkawinan dan gua kurang sreg akan hal tersebut, sorry nih).


Dulu waktu zaman kerajaan (khususnya eropa yang gua ambil sebagai referensi), pengaturan perkawinan (ah gua nyebutnya perjodohan aja) adalah sebuah maneuver politik yang dilakukan oleh seorang penguasa untuk memperbesar dan mengukuhkan pengaruhnya.


Makanya dulu biasanya anak penguasa sebuah kerajaan, akan dijodohkan dengan anak penguasa kerajaan lain (nanti bisa masukin influence politik ke kerajaan yang bersangkutan) atau dijodohkan dengan anak tuan tanah (untuk memperluas daerah kekuasaan). Ambil contoh perang dunia 1, dimana raja dari kerajaan Jerman, Russia, dan Inggris, kalo lu tarik lagi berasal dari 1 nenek, yaitu ratu Victoria.


Kalau kita berbicara zaman sekarang perjodohan udah gak melulu sebagai sebuah strategi politik, apalagi jika perjodohan itu dilakukan bukan oleh kalangan bangsawan dengan bangsawan, tetapi antara orang yang punya pengaruh dengan orang biasa.


Contoh kasusnya banyak, misalnya ada seorang petani yang mempunyai anak laki-laki, si anak laki-laki tersebut berpacaran dengan anak perempuan seorang juragan, tetapi si juragan ingin mempermudah bisnisnya dengan menikahkan anak perempuannya kepada anak kepala daerah, supaya dia tidak bayar pajak dan bisa buka toko sembarangan, maka akhirnya si wanita anak juragan dipaksa menikah oleh orang tuanya dengan orang yang sama sekali dia tidak tahu dan mungkin tidak dia cintai, yaitu si anak kepala daerah, yang seneng-seneng aja dijodihin sama wanita cantik.


Memang cinta bisa dibuat dari terbiasa, tapi apakah lu nyaman membiasakan dan mencintai sesuatu yang dari awal sebenernya bukan kemauan lu sendiri?


Gua berusaha untuk selalu berpandangan netral pada orang yang menjadi korban disini (orang yang dijodohkan). Dan gua akan selalu benci dengan orang yang mengorbankan dan menjodohkan orang lain tanpa peduli atau tanpa mencari persetujuan dari orang yang dijodohkan, jika kedua pihak memang setuju gua sih gak masalah, tetapi masalahnya apakah orang yang dijodohkan ini setuju 100%? Biasanya ini terjadi sama orang tua yang jodoh-jodohin anaknya, man, gua gak tau apa yang ada di pikiran mereka, kenapa menjodohkan anaknya.


Alasan status sosial, hak khusus, dan ekonomi menurut gua terlalu rendah untuk dijadikan sebuah alasan menjodohkan orang, apalagi itu anak lu sendiri. Jika memang hal itu tidak mengancam kehidupan lu, kenapa lu harus melakukan hal tersebut? Padahal anak lu bisa bahagia kok dengan orang pilihannya dia yang bukan hasil dari perjodohan.


Sebenernya permasalahannya akan terjadi ketika si anak menolak, maka bisa dipastikan 70% orang tua akan mengatakan anak mereka durhaka karena tidak menuruti orang tuanya. Coy mana ada orang tua yang rela menukarkan kebahagiaan anaknya buat kepentingan dirinya sendiri, kalau menurut gua ada sesuatu yang salah di otak dan jiwa lu kalau lu sampai bisa menjodohkan anak lu sendiri, Tuhan juga gua rasa ngerti kalau hal tersebut sebenarnya boleh untuk ditentang oleh si anak.


Toh emang ini jalan pintas yang menggiurkan, karena sebagai orang tua lu punya hak khusus terhadap anak lu, apalagi kalau lu udah bawa-bawa agama dan durhaka (sebagai seseorang yang dibesarkan dengan kebebasan penuh dari orang tua, ada beberapa hal yang sudah gua tentang dari orang tua gua yang menurut gua tidak sesuai dengan cara hidup dan pikiran gua).


Oke mungkin setiap orang memiliki sifat dan pandangan yang berbeda jika menjadi anaknya, pun reaksinya akan berbeda pula, ada beberapa oran (sebagai anak) akan menelan bulat-bulat hal ini, tetapi pasti ada juga yang menunjukkan resistensinya.


Tapi apakah hubungan yang dipaksakan (dalam hal ini pernikahan) akan membuat orang yang dijodohin itu bahagia? Kalau melihat dairi pihak yang tidak menunjukkan resistesi, menurut gua dia akan pasang muka tebal saja, toh nanti juga biasa, tetapi untuk orang yang menunjukkan resistensi di awal, apakah alasan “menyenangkan orang tua” / “mencari berkah orang tua” adalah sebuah alasan yang cukup logis untuk menelan bulat-bulat hal tersebut? Apalagi jika hal ini terjadi jika korban sudah berusia di atas 21 tahun, gua pastikan 60% isi kepala dan hatinya menolak, karena sudah bisa berpikir logis secara sendiri.


Lu emang gak bisa berbuat apa-apa, tapi ada satu hal ekstrim yang bisa lu lakukan, apalagi jika semua cara penolakan udah gak mempan dan lu sudah cukup dewasa untuk hidup sendiri, LU MASIH PUNYA PILIHAN UNTUK KABUR DAN MEMUTUSKAN HUBUNGAN DENGAN ORANG YANG MENJODOHKAN ELU!


Mungkin gak semua orang setuju dengan pernyataan gua di atas, tetapi menurut gua hal tersebut sama aja kaya konsep hubungan yang toxic (lu ngerti kan konsep pasangan yang toxic), akan lebih baik jika lu memutuskan hubungan lu dengan sesuatu yang menjadi racun buat lu, daripada lu hidup dengan racun tersebut, menurut gua hal tersebut harus dilakukan.


Mungkin lu akan bertanya “kenapa harus kabur? Apa kata orang nanti?” HEI BODOH, ORANG YANG DIJODOHIN SAMA LU AJA BISA MASANG MUKA TEBAL, KENAPA LU ENGGAK? LU BISA MEMULAI HIDUP BARU DI TEMPAT LAIN DENGAN NYAMAN, PERSETAN TOXIC-TOXIC TERSEBUT.


Oh iya mungkin lu agak aneh gua menyebut orang yang dijodohkan dengan sebutan korban, ya mereka itu korban, korban dari ketamakan orang lain dan korban dirinya sendiri yang tidak bisa mengikuti kehendak hatinya.


Tetapi apalah daya gua, ini cuma sebuah opini gua tentang sebuah perjodohan, hak istimewa, dan status sosial, kalau lu tidak setuju ya tidak apa-apa, toh gua tidak menyalahkan korban perjodohan, kalian tidak bersalah, kalian hanya kurang kemauan untuk memperjuangkan apa yang sebenarnya bisa diperjuangkan dan hal tersebut lebih sehat untuk hidup kalian dan untuk orang-orang yang berpikiran perjodohan adalah sebuah jalan pintas untuk mendapatkan hak istimewa dan status sosial, FUCK YOU, YOU CAN ROT IN HELL.