Tulisan ini adalah sebuah opini yang gua rangkum setelah gua
membaca beberapa referensi yang gua gunakan dalam menulis skripsi gua yang juga
bertema kekerasan seksual, selain itu argument gua di sini gua bangun juga dari
partisipan penelitian gua tentang pandangan dan pemaknaan mereka tentang
kekerasan seksual, tulisan ini akan subjektif dari pandangan gua dan gua harap
lu bisa memakluminya dan tidak menelan mentah-mentah apa yang gua tulis di
sini, biasakan untuk membaca dan memeriksa apa yang yang sudah lu baca dari
sumber lain yang lebih kredible.
Ahhhhh, privilege,
sebuah hal yang nikmat memang, tapi juga bisa ngerepotin bahkan bisa menyakiti
beberapa orang, apalagi kalau dia gak punya privilege yang setara. Pun kalau
kita mau mempermasalahkan privilege kayanya gak bakal habis, karena gua rasa
setiap orang punya privilege masing-masing di bidang tertentu sesuai dengan
peran sosial di lingkungan/masyarakat tempat dia hidup.
Tapi gua males
nyebutnya privilege kayanya terlalu “wah” gitu, gua bakal menyebut hal ini
dengan hak khusus, kenapa hak khusus? Karena emang gak setiap orang punya.
Hak khusus ini kalau
menurut bentuknya bisa didapatkan dengan 2 cara, yaitu hak khusus yang lu
dapatkan karena melakukan/memiliki sesuatu dan hak khusus yang diturunkan dari
keluarga lu. Hak khusus ini bisa memberikan lu kemudahan dimana aja selama hak
tersebut diakui di tempat tersebut.
Nih contohnya, kalau misalnya
yang diturunin, taruh lah misalnya bapak lu atau keluarga lu adalah orang yang
dipandang di lingkungan rumah lu sebagai pengurus masjid dan keluarga kiyayi. Otomatis
hak khusus yang lu dapatkan adalah lu dianggap sebagai anak saleh yang rajin,
belom lagi lu pasti bisa ngaji dan omongan lu soal agama akan lebih didengarkan
karena latar belakang keluarga lu, gak hanya sampai situ aja, biasanya dalam
hal-hal yang berbau keagamaan, misalnya pegajian lu bakal bisa duduk di depan,
atau malah diminta untuk jadi pembaca doa atau menjadi narasumber karena hak
khusus yang lu punya, meskipun orang atau bahkan lu sendiri gak tau kapasitaslu
kaya gimana.
Kalau untuk bentuk yang
satunya, hak khusus yang lu dapet karena melakukan sesuatu atau memiliki
sesuatu biasanya ada hal-hal yang harus lu korbankan dulu buat mendapatkan hak
khusus tersebut, contohnya gini, ada sebuah pasar, di pasar tersebut ada
premannya, lu nantang tuh preman, lu gebukin sampe ampun-ampun walaupun lu juga
bonyok, maka setelah itu lu punya hak khusus di pasar tersebut, misalnya seperti
parkir gratis, bisa makan gak bayar, atau dapet jatah uang keamanan juga karena
lu telah mengalahkan orang paling jago di pasar tersebut.
Biasanya dengan
seseorang memiliki sebuah hak khusus akan datang sebuah efek lain, yaitu
naiknya status sosial orang tersebut di masyarakat, karena terkadanga hak
khusus ini akan dijadikan sebagai sebuah indikator bahwa orang tersebut
memiliki sesuatu yang “lebih” dan tidak dimiliki orang kebanyakan.
Banyak orang yang
memanfaatkan seseorang yang memiliki sebuah hak khusus untuk mencapai sebuah
tujuan (biasanya tujuan pribadi) dan biasanya tujuan tersebut lekat dengan
upaya untuk menaikkan status sosialnya di masyarakat.
Emang ya, manusia bisa
segila itu buat mencapai sebuah hak khusus dan sebuah status sosial biar
dipandang di masyarakat. Mereka rela ngelakuin apa aja bahkan sampe
mengorbankan orang lain dan orang-orang di sekitarnya. Mereka akan masa bodo
dengan efek yang terjadi pada orang-orang atau sesuatu yang mereka korbankan
(baik orang yang melihat itu tahu atau tidak tentang motif mereka mengorbankan
hal tersebut).
Tapi karena seri postingan
ini udah punya tema khusus dari part pertama dan part 1.5 yang bisa kamu baca
di sini dan di sini . Maka gua akan nyambungin hak khusus dan status
sosial ini dengan teman postingan sebelumnya. Coba baca dulu biar lu ngerti gua
ngomongin apa di series ini.
Selain dengan hak
khusus, status sosial biasanya juga berkaitan sama kekayaan. Di indonesia
sendiri yang gua rasain dan gua lihat sebagai seorang middle to lower class
citizen yang punya temen dari yang lower class (yang bener-bener harus berjuang
buat menuhin kebutuhan hidup sehari-hari dia dan keluarganya) sampe temen yang
ada di luar angkasa (tinggal tunjuk, tanpa harus berusaha dan berkorban, enak
hidupnya), bahwa harta dan uang memang bisa membuat kelas sosial lu naik dan
membuat orang secara tidak sadar menaruh lu di kelas sosial tertentu.
Nah, sama seperti udah
gua jelasin di atas, orang juga bisa mengorbankan banyak hal untuk mencapai hal
ini. tapi menurut gua ada sebuah cara yang paling gampang, manjur, dan sudah
terbukti dari zaman sejak manusia mulai mengenal sistem hirarki, cara tersebut
adalah dengan :
Mengatur pernikahan /
mengatur perjodohan.
FYI dulu nih sebelum
lanjut, dari buku rujukan yang gua baca yaitu “15 Bentuk Kekerasan Seksual:
Sebuah Pengenalan” yang dikeluarin sama KOMNAS PEREMPUAN pada tahun 2015 menyebutkan
bahwa salah satu bentuk tindak kekerasan seksual yang dibahas di dalam buku
tersebut salah satunya adalah “Pemaksaan Perkawinan, termasuk Cerai Gantung”
dan gua pribadi, sangat tidak suka dengan pemaksaan perkawinan (dan menurut gua
perjodohan/dijodohin adalah sebuah bentuk pemaksaan perkawinan dan gua kurang
sreg akan hal tersebut, sorry nih).
Dulu waktu zaman
kerajaan (khususnya eropa yang gua ambil sebagai referensi), pengaturan
perkawinan (ah gua nyebutnya perjodohan aja) adalah sebuah maneuver politik
yang dilakukan oleh seorang penguasa untuk memperbesar dan mengukuhkan
pengaruhnya.
Makanya dulu biasanya
anak penguasa sebuah kerajaan, akan dijodohkan dengan anak penguasa kerajaan
lain (nanti bisa masukin influence politik ke kerajaan yang bersangkutan) atau
dijodohkan dengan anak tuan tanah (untuk memperluas daerah kekuasaan). Ambil contoh
perang dunia 1, dimana raja dari kerajaan Jerman, Russia, dan Inggris, kalo lu tarik
lagi berasal dari 1 nenek, yaitu ratu Victoria.
Kalau kita berbicara
zaman sekarang perjodohan udah gak melulu sebagai sebuah strategi politik,
apalagi jika perjodohan itu dilakukan bukan oleh kalangan bangsawan dengan
bangsawan, tetapi antara orang yang punya pengaruh dengan orang biasa.
Contoh kasusnya banyak,
misalnya ada seorang petani yang mempunyai anak laki-laki, si anak laki-laki
tersebut berpacaran dengan anak perempuan seorang juragan, tetapi si juragan
ingin mempermudah bisnisnya dengan menikahkan anak perempuannya kepada anak
kepala daerah, supaya dia tidak bayar pajak dan bisa buka toko sembarangan,
maka akhirnya si wanita anak juragan dipaksa menikah oleh orang tuanya dengan
orang yang sama sekali dia tidak tahu dan mungkin tidak dia cintai, yaitu si
anak kepala daerah, yang seneng-seneng aja dijodihin sama wanita cantik.
Memang cinta bisa
dibuat dari terbiasa, tapi apakah lu nyaman membiasakan dan mencintai sesuatu
yang dari awal sebenernya bukan kemauan lu sendiri?
Gua berusaha untuk
selalu berpandangan netral pada orang yang menjadi korban disini (orang yang
dijodohkan). Dan gua akan selalu benci dengan orang yang mengorbankan dan
menjodohkan orang lain tanpa peduli atau tanpa mencari persetujuan dari orang
yang dijodohkan, jika kedua pihak memang setuju gua sih gak masalah, tetapi
masalahnya apakah orang yang dijodohkan ini setuju 100%? Biasanya ini terjadi
sama orang tua yang jodoh-jodohin anaknya, man, gua gak tau apa yang ada di
pikiran mereka, kenapa menjodohkan anaknya.
Alasan status sosial,
hak khusus, dan ekonomi menurut gua terlalu rendah untuk dijadikan sebuah
alasan menjodohkan orang, apalagi itu anak lu sendiri. Jika memang hal itu
tidak mengancam kehidupan lu, kenapa lu harus melakukan hal tersebut? Padahal anak
lu bisa bahagia kok dengan orang pilihannya dia yang bukan hasil dari
perjodohan.
Sebenernya permasalahannya
akan terjadi ketika si anak menolak, maka bisa dipastikan 70% orang tua akan
mengatakan anak mereka durhaka karena tidak menuruti orang tuanya. Coy mana ada
orang tua yang rela menukarkan kebahagiaan anaknya buat kepentingan dirinya
sendiri, kalau menurut gua ada sesuatu yang salah di otak dan jiwa lu kalau lu
sampai bisa menjodohkan anak lu sendiri, Tuhan juga gua rasa ngerti kalau hal
tersebut sebenarnya boleh untuk ditentang oleh si anak.
Toh emang ini jalan
pintas yang menggiurkan, karena sebagai orang tua lu punya hak khusus terhadap
anak lu, apalagi kalau lu udah bawa-bawa agama dan durhaka (sebagai seseorang
yang dibesarkan dengan kebebasan penuh dari orang tua, ada beberapa hal yang
sudah gua tentang dari orang tua gua yang menurut gua tidak sesuai dengan cara
hidup dan pikiran gua).
Oke mungkin setiap
orang memiliki sifat dan pandangan yang berbeda jika menjadi anaknya, pun
reaksinya akan berbeda pula, ada beberapa oran (sebagai anak) akan menelan
bulat-bulat hal ini, tetapi pasti ada juga yang menunjukkan resistensinya.
Tapi apakah hubungan
yang dipaksakan (dalam hal ini pernikahan) akan membuat orang yang dijodohin
itu bahagia? Kalau melihat dairi pihak yang tidak menunjukkan resistesi,
menurut gua dia akan pasang muka tebal saja, toh nanti juga biasa, tetapi untuk
orang yang menunjukkan resistensi di awal, apakah alasan “menyenangkan orang
tua” / “mencari berkah orang tua” adalah sebuah alasan yang cukup logis untuk
menelan bulat-bulat hal tersebut? Apalagi jika hal ini terjadi jika korban
sudah berusia di atas 21 tahun, gua pastikan 60% isi kepala dan hatinya
menolak, karena sudah bisa berpikir logis secara sendiri.
Lu emang gak bisa
berbuat apa-apa, tapi ada satu hal ekstrim yang bisa lu lakukan, apalagi jika
semua cara penolakan udah gak mempan dan lu sudah cukup dewasa untuk hidup
sendiri, LU MASIH PUNYA PILIHAN UNTUK KABUR DAN MEMUTUSKAN HUBUNGAN DENGAN
ORANG YANG MENJODOHKAN ELU!
Mungkin gak semua orang
setuju dengan pernyataan gua di atas, tetapi menurut gua hal tersebut sama aja
kaya konsep hubungan yang toxic (lu ngerti kan konsep pasangan yang toxic),
akan lebih baik jika lu memutuskan hubungan lu dengan sesuatu yang menjadi racun
buat lu, daripada lu hidup dengan racun tersebut, menurut gua hal tersebut
harus dilakukan.
Mungkin lu akan
bertanya “kenapa harus kabur? Apa kata orang nanti?” HEI BODOH, ORANG YANG
DIJODOHIN SAMA LU AJA BISA MASANG MUKA TEBAL, KENAPA LU ENGGAK? LU BISA MEMULAI
HIDUP BARU DI TEMPAT LAIN DENGAN NYAMAN, PERSETAN TOXIC-TOXIC TERSEBUT.
Oh iya mungkin lu agak
aneh gua menyebut orang yang dijodohkan dengan sebutan korban, ya mereka itu
korban, korban dari ketamakan orang lain dan korban dirinya sendiri yang tidak
bisa mengikuti kehendak hatinya.
Tetapi apalah daya gua,
ini cuma sebuah opini gua tentang sebuah perjodohan, hak istimewa, dan status
sosial, kalau lu tidak setuju ya tidak apa-apa, toh gua tidak menyalahkan
korban perjodohan, kalian tidak bersalah, kalian hanya kurang kemauan untuk
memperjuangkan apa yang sebenarnya bisa diperjuangkan dan hal tersebut lebih
sehat untuk hidup kalian dan untuk orang-orang yang berpikiran perjodohan
adalah sebuah jalan pintas untuk mendapatkan hak istimewa dan status sosial,
FUCK YOU, YOU CAN ROT IN HELL.